Selasa, 30 Desember 2008

Si " Vixi " Juara Motor terbaik 2008 Indonesia

Cihuii ...... ternyata motor impianku menerima penghargaan diujung tahun ini sebagai “ kuda besi “ terbaik 2008............ emang nggak salah pilih deh kalo “si seksi” ini menjadi juara dan mengalahkan pesaing – pesaingnya, walaupun sekarang aku masih pake GL max kelahiran 2001, namun aku sangat berambisi untuk bisa nebus si Vixi kerumah, doain ya bro.... apalagi denger kabar ginian.... jadi gemes aja, ngiler............ PENGEN.

Setelah melalui proses penjurian yang ketat, akhirnya resmi diumumkan tujuh motor terbaik versi Forum Wartawan Automotif (Forwot) Indonesia. Terpilih sebagai juara adalah Yamaha V-ixion. Dari 17 juri inti yang tergabung dalam Forum Wartawan Automotif Indonesia, Yamaha V-ixion mendapatkan poin tertinggi yakni 114 point.

Disusul kemudian di posisi kedua Kawasaki Ninja 250r dengan 75 poin. Sedangkan untuk posisi ketiga, Forwot memilih motor keluaran Honda, Supra X 125 PGF-1.

Ajang yang digelar pada tanggal 12 – 12 – 2008 ini disponsori Pelumas Top 1 ini sejak sebelum acara Jakarta Motorcycle Show (JMC), sudah mulai memilih siapa yang berhak menjadi yang terbaik. Peserta diambil dari sembilan ATPM, dari anggota AISI maupun 2 kendaraan yang bukan anggota AISI, yakni Bajaj dan Mynerva.

S'moga aja, di tahun depan ada ATPM yang berani membuat Desain yang lebih bagus lagi, masa cuma si "Vixi" yang aduhai itu aja yang kukira keluaran terbagus, dari harga, desain, dan mesin serta teknologi.............memang yamaha selalu didepan...........wuzzz ( komeng lewat ) hehehe.....


Sabtu, 27 Desember 2008

Panggilan Kemenangan

Andaikata kita sembahyang boleh dilakukan dengan bahasa masing-masing, bukankah akan lebih mudah dikerjakan? mengapa mesti dengan bahasa arab? Apakah Tuhan hanya mengerti bahasa timur tengah itu? Demikian sering tanda tanya ketidak puasan mengental di hati sejumlah masyarakat yang gandrung kembali kepada tradisi nenek moyang.

Alkisah seorang nenek dari jawa tengah bertetangga dengan nenek berasal dari cianjur, kedua-duanya sama-sama totok tidak mengerti bahasa lain.Pernah mereka terlibat dalam ketegangan meruncing akibat salah paham. Ceritanya, karena amat baik hati, melihat nenek jawa tengah kehabisan minyak tanah, si nenek Cianjur tanpa diminta mengantarkan sekaleng kerumah tetangganya itu.
Dengan mempergunakan bahasa sunda nenek itu bertanya,"Ini minyak tanah,ditaruh dimana?"

Meskipun samar-samar,nenek jawa itu tahu maksudnya sebab ada kata dimana, jadi ia menjawab,"Dituang saja,"dalam bahasa jawa.

Tentu saja nenek cianjur itu marah,lantaran "dituang" artinya dimakan,menurut bahasa sunda. nenek jawa itu disangka menghina dan mempermainkan pertolongan orang lain. Untung akhirnya masalah itu dapat diselesaikan oleh pamong desa setempat.

Itu kejadian diluar masjid, tetapi,begitu mereka bersama-sama hendak bershalat jama'ah didalam masjid, persoalan bahasa tidak menjadi penghalang lagi karena, baik yang sunda maupun jawa bersembahyang menggunakan bahasa yang sama, bahasa Al-Qur'an. Bayangkan, apabila imam dan makmum-makmumnya memakai bahasa masing-masing, bukankan waktu membaca "Amin" saja suasana shalat bisa gaduh? Orang arab menjawab "Amin", Orang jakarta mengatakan "Kabulkanlah",Orang inggris menyahut "May God Bless Us", Orang jawa tengah berseru "Lah Mbok dingahisih",Orang solo menggumam "Mugi-Mugidipun sembadani".

Dan umpamanya dibikin masjid untuk tiap bahasa sendiri-sendiri, alangkah banyaknya masjid harus dididirikan di negeri kita, serta tak dapat dibayangkan bertapa ributnya tiap kali adzan di kumandangkan . Ada yang bang "Allah Nan Gadang", ada yang "Allah Sing Gede Nemen", Ada yang Adzan "Allah Nun Agung Pisan" . Ada pula yang "Allah Ingkang Ageng Sanget". Wah, Kacau-balau.

Oleh sebab itu,Rasullullah Muhammad saw yang amat sangat kita cintai. Sangat bijaksana ketika menentukan
bagaimana Adzan memanggil Umat untuk Bersembahyang harus dilafalkan, Mula-Mula ada yang mengusulkan agar seruan berjama'ah dilakukan dengan mengibarkan bendera. Sahabat lain menganjurkan supaya dengan meniup terompet. Ada lagi yang punya saran untuk membunyikan lonceng atau genta. Semuanya tidak disetujui oleh Rasulullah, Beliau menyepakati lafal As-shalaat seperti diusulkan Umar bin khattab, Dan lafal itulah yang untuk beberapa masa didengungkan oleh bilal dari puncak Ka'bah. Cuma beberapa waktu kemudian disempurnakan menjadi as-shalaatu jaami'ah oleh bilal.

Namun, Pada suatu malam seorang sahabat bernama Abdullah Bin Zaid dalam tidurnya bermimpi. Ia melihat seorang lelaki berjubah serba hijau mondar-mandir di depannya sambil membawa genta. Abdullah menegurnya dan berkata ingin membeli genta itu. "Untuk Apa?" Tanya lelaki berjubah serba hijau itu keheranan."Untuk menyerukan umat supaya bersembahyang jama'ah",jawab Abdullah bin Zaid mengemukakan keinginannya.

Lelaki itu tersenyum seraya menggeleng,"Tidak layak memanggil orang menyembah tuhan maha besar dengan
membunyikan genta.

Dengarkanlah seruan lebih tepat".

Lantas lelaki berjubah itu menerangkan lafal adzan seperti yang kita kenal sekarang. Hikmahnya, Ucapan Allahu Akbar Adalah guna mengingatkan manusia bahwa yang besar hanya Allah.Swt. Manusia dan kehidupannya di dunia sungguh kecil. Yang Maha Besar Hanya Allah.Swt, dan kehidupan di hadirat-Nya. Disusul dengan lafal syahadatain, mengandung makna bahwa manusia tidak cukup hanya bertuhan saja, melainkan harus mengikuti agama untuk mencapai ibadah yang benar. dan karena Muhammad.Saw adalah Rasul terakhir. baru setelah itu diserukan untuk mengerjakan Shalat dengan lafal "Hayya' alas-shalaat. sebab shalat baru diterima bila mengikuti cara-cara yang dicontohkan oleh Rasulullah.Saw.Bila sudah Shalat,berarti kemenangan pun mudah diperoleh,lantaran shalat adalah permulaan dari kemenangan mengatasi goda'an hawa nafsu, Dan perjuangan mengalahkan hawa nafsu adalah permula'an dari kemenangan diatas perjuangan menaklukkan musuh dimanapun. setelah kemenangan itu direbut, tidak ada yang patut dipekikkan kecuali menyerukan kembali kebesaran Allah.Swt, karena tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolonganNya.

Allah yang mana yang harus kita agungkan? Tidak lain Adalah Allah yang tiada Tuhan kecuali dia.

Pada waktu rekaman mimpi ini diberitahukan kepada Rasulullah.Saw , Beliau dengan bergembira menyetujuinya
sebagai lafal Adzan semenjak saat itu, Oleh Bilal, Tiap kali bang subuh ditambahkan kalimat As-shalaatu khairun minannaum, Shalat itu lebih utama dari pada tidur, setelah kalimat hayya 'alal-falah.


( Cerita Ini saya ambil dari buku 30 kisah teladan "Oleh K.H Abdurrahman Arroisi". Semoga bermanfaat bagi kita semua Wassalam. )

Senin, 22 Desember 2008

Gank


Ini adalah sebuah cerpen yang sangat kusukai tentang sebuah kehidupan, bayangin... aku udah baca nih cerpen sampai delapan kali............. karena itu sengaja kuposting untuk kubagikan kepada sampeyan.............. Selamat membaca !!!

Gank

Oleh: Syahril Latif

1

Gang Haji Abdul Jalil adalah sebuah gang sempit yang terletak persis di depan Kuburan Karet yang terkenal itu. Sebuah gang sempit yang tak berarti, sehingga kau tidak akan menjumpai dalam kartu pos bergambar untuk promosi pariwisata, seperti Taman Mini, Monas, Dunia Fantasi Ancol, Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Tapi inilah gambaran kota yang sebenarnya, di mana penduduk tinggal tumplek berdesakan.

Anak-anak remaja mengganti huruf pada Gang itu dengan k, sehingga menjadi Gank. Tak tahu siapa yang mengubahnya. Tapi semua orang seperti sudah maklum, dapat menduganya, siapa lagi kalau bukan salah seorang di antara kami.

Belakangan, ada yang mengubahnya: Gank Haji Abdul Jackal. Namun, apa pun namanya, semua orang mengenalnya sebagai Gang Haji Abdul Jalil. Kadang-kadang, untuk cepat dan mudahnya, oleh tukang, beca terutama, disingkat saja menjadi Gang Jalil.

Apalah arti sebuah nama.

2

Di gang itulah aku dan teman-teman tumbuh dan dibesarkan. Di sana, di jalanan yang sempit itu, anak-anak bermain gundu, main bola kaki, berkejaran, main layangan, main petak-umpet, main galasin. Sementara gadia-gadis kecilnya duduk bersila main masak-masakan, main congklak, atau melompat-lom­pat main engklek. Dan apabila ada mobil lewat, yang terpaksa merayap pelan bagai keong, anak-anak menyibak ke tepi. Kemudian mengumpul kembali memenuhi jalanan, setelah mobil berlalu. Seakan, seperti setelah biduk lalu kiambang bertaut.

3

Penghuni gang itu terdiri dari berbagai suku, yang bercampur-baur menjadi satu dengan pen­duduk asli Betawi, sehingga kami tak merasa lagi per­be­da­an­nya. Kami telah lebur jadi satu: penghuni Gang Haji Abdul Jalil.

4

Rata-rata, semua kami miskin dan karenanya kami saling mengenal dan akrab satu sama lain.

5

Sebagai gambaran kemiskinan, rumah-rumah, kami pun sederhana, berukuran kecil dan tak teratur bentuk dan susunannya.

Ada juga satu dua rumah gedung yang ber­pe­ka­rang­an luas dan bertaman, membuat ke­ha­di­r­an­nya bagaikan putri raja di tengah rakyat gembel, yang se­ge­ra mengundang tamu atau teman kami yang da­tang berkunjung, bertanya heran: “Rumah siapa yang cakep itu?”

“Itu rumah pegawai pajak,” begitu kami selalu menjelaskan.

“Pantas!” jawab mereka. Dan tanya lagi, “Yang di sebelahnya?”

“Rumah pegawai Bea Cukai.”

“Lebih pantas lagi,” kata mereka, dan tanya lagi, “Yang di seberangnya?”

“Itu mah, pegawai negeri biasa saja.”

“Kok sama hebatnya?”

“Maklum, menjabat bagian basah.”

“Bagian apa?”

“Tau, dengar-dengar bagian pembelian atau per­izinan. Tak tahulah. Kok, ngurus hal orang lain, sih?

6

Di sini dapat kau jumpai segala macam orang: tukang sol sepatu, tukang kayu, montir, kenek, pedagang kaki lima, penjual nasi Padang dan Tegal, tukang cukur, guru sekolah, dosen, pelayan toko, sopir, makelar, satpam, tukang listrik, pegawai negeri dan swasta, bidan, perawat dan lain sebagainya.

7

Jika lagi kehabisan, ibu-ibu kami saling pinjam garam atau korek api atau bumbu masakan kepada tetangga. Kadang-kadang mereka saling antar-meng­antar sayuran atau makanan kecil. Kadang menum­pang menjahit baju anak di rumah tetangga yang pu­nya mesin jahit. Dan andaikata ada pompa air yang rusak, atau listrik yang korsleting, tetangga lain akan cepat turun tangan memberikan bantuan perbaikan.

8

Sesekali, ibu-ibu kami terlibat juga dalam per­teng­karan kecil. Biasanya, soal anak-anak, yang be­ran­­tem. Anehnya, sementara ibu-ibu itu masih ber­sungut-sungut, anak-anak mereka sudah ber­baik­an kembali.

9

Kurasa gang kami tak pernah sepi. Macam-ma­cam­lah sumber kebisingan itu: radio atau kaset yang tak henti-hentinya distel, teriakan anak-anak bermain, teriakan penjaja sayuran dan makanan. Dan lepas tengah hari, di saat warga sedang terkantuk-kantuk dise­ngat panas Jakarta, terdengar mengalun suara anak-anak mengeja Juz Amma dari madrasah:

“Aanakum, Ainakum, Iinakum, Aunakum, Uuna­kum, Baanakum, Bainakum, Biinakum, Baunakum, Buu­na­kum, Taanakum, Tainakum, Tiinakum, Taunakum, Tu­una­kum, Tsaanakum, Tsainakum, Tsiinakum, Tsauna­kum, Tsuunakum ....”

Ejaan itu mengalun dalam irama yang khas, meng­asyik­kan, mengantar kantuk, melayang jauh dihantar angin siang.

10

Apa saja yang dimasak tetangga, tak bisa dir­a­ha­sia­kan. Aromanya akan mengambang ke mana-mana, ke sepanjang gang. Yang paling cepat ketahuan, kalau ibumu menggoreng ikan asin. Yang ini, sungguh me­nitikkan air liur.

11

Lepas Isya dan makan malam, boleh dikata selalu ada permainan domino, lebih terkenal: gaple, di luar pekarangan rumah. Pada malam minggu, bisa-bisa berlangsung hingga beduk subuh. Begitulah cara ayah-ayah kami melepaskan lelah setelah seharian men­­­cari nafkah membanting tulang. Atau juga, begitulah cara mereka membanting kesal ke atas meja gaple. Tak tahulah.

12

Berbeda sedikit dengan hari-hari biasa, sekali se­bu­lan pada petang Jumat, orang tua-tua kami me­nga­­dakan pengajian di mesjid. Kami yang muda-mu­da, sebagai basa-basi, ikut hadir. Nampaknya keha­dir­an kami melegakan hati mereka.

Di tengah pengajian sedang berlangsung, ayah-ayah kami pada mengantuk. Heran, kalau main gaple se­ma­­lam suntuk, mata itu bisa melotot terus sampai pa­­gi, ditingkah senda gurau dan gelak tawa tak ber­ke­­pu­tusan. Menurut Ustadz Malik, setengah melucu, setengah menyindir: “Mata yang mengantuk kalau di­bawa mendengar pengajian, tanda setan sedang me­ngen­cinginya!”

Tiba-tiba, semua membuka matanya lebar-lebar, sedikit kaget dan lantas tertawa. Menertawakan siapa?

13

Jika yang tua-tua senang gaple, kami yang muda-mu­da pun tak mau ketinggalan duduk meng­ge­rom­bol: ngobrol ngalor-ngidul, menyanyi dan main gitar, per­sis pengamen jalanan. Tempatnya: gardu jaga sis­kamling. Kami menyebutnya ‘markas’.

Se­mua jenis lagu kami senang, mulai dari dangdut, pop sampai keroncong. Tapi yang mendapat tempat di hati kami, agaknya dangdut dan pop itulah. Sekali-sekali ada juga yang mencoba seriosa, atau belagak memainkan musik jazz dengan gitarnya, tapi tak ke­na: sumbang, dan yang lain segera menyorakinya. Se­se­kali kami larut juga dalam irama gambus.

14

Sekali-sekali, anak-anak cewek ikut nimbrung bersama kami, tak sampai larut. Sebentar mereka su­dah dipanggil ibu mereka. Atau disusul adiknya di­suruh pulang.

15

Bagiku, semua anak-anak Gang Haji Abdul Jalil adalah teman. Tapi rasanya lebih intim dengan Ham­zah, Martin, Najib, Tony Handoko dan beberapa anak tertentu.

Usia kami tak jauh beda, hampir sebaya. Dulu ke­tika masih kecil, kami sering berantem. Sekarang ti­dak, kami saling menjaga, saling menenggang. Dan kalau bisa ingin berbuat lebih baik kepada yang lain.

16

Hamzah gitaris andalan kami, sejak jadi maha­sis­wa Sastra Inggris paling getol nyanyi Inggris. Agak­nya dangdut seperti sudah dilupakannya. Atau diku­bur­nya? Pokoknya lagu Barat melulu. “Inggris, ni yee?!” ejek anak-anak.

“Maklum, deh,” tambah yang lain.

Tapi Hamzah tidak marah. Tak acuh.

Dan sekarang, bacaannya bukan komik lagi, bukan cerita silat lagi. Pokoknya, berat, deh! Bayangin, kalau dia lagi sendirian di teras rumahnya, kalian tahu, dia sedang baca apa?

George Bernard Shaw atau Hemingway atau Tols­toy atau Albert Camus atau Dokter Zhivagonya Bo­ris Pasternak atau Thomas Elliot!

Pokoknya: berat!

17

Kalau si Martin lain lagi. Sejak jadi pemain teater, gayanya overacting. Selangit. Ia ikut salah satu ke­lom­pok teater yang sering mentas di TIM. Di situlah ia bercokol.

Gaya bicaranya, gerak tangan, jalannya, cara ter­se­nyum, ekspresi wajah dan lain sebagainya, kayak­nya bukan lagi Martin yang kami kenal selama ini: Martin yang lugu dan agak pemalu. Tiba-tiba saja ia te­lah menjadi manusia aneh di tengah-tengah kami. Merasa lebih penting dan menonjol dari yang lain. Ga­yanya mirip-mirip Rendra, maunya.

Kalau ia bicara, seakan ia jauh dari kita, nada sua­ra­nya agak dilantunkan bagaikan orang berdiri di atas panggung. Agaknya ia tak bisa lagi mengecilkan su­a­ra­nya. Kami tak tahu pasti, apakah dia masih bisa berbisik.

Anak-anak hampir tak dapat menahan ketawa.

Akhir-akhir ini ia agak jarang nongol di ‘markas’? Waktunya dihabiskannya di TIM, disibukkan oleh latihan-latihan teaternya. Kadang-kadang ikut mentas ke kota-kota lain!

18

Kukira, si Najiblah yang membuat kami semua merasa heran. Itu, Najib anak Ustadz Malik, guru ngaji di gang kami. Soalnya setelah gagal sipenmaru, benar-benar ia putus sekolah. Mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta, ia tahu diri, tak mungkin, biaya kuliah terlalu tinggi, di luar jangkauan.

Apalah yang dapat diharapkan dari pencarian ayahnya yang ustadz. Maka dengan senjata ijazah SMA-nya diterobosnya rimba perkantoran kota Jakarta. Masuk kantor keluar kantor. Akan hasil perburuannya itu, bagaikan buku yang belum habis dibaca kita sudah tahu jalan ceritanya, tentu kau sudah dapat menebak. Tapi Allah memang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, akhirnya Najib mendapat juga apa yang dicarinya, kalau itu diartikan secara harfiah: kerja. Pokoknya, kerja. Apakah ia suka atau tidak.

Nah, bersamaan dengan itu Allah ingin menguji Najib, menguji keimanannya. Agaknya ia kalah. Satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya adalah sebuah Pub, rumah minum. Artinya, setelah Najib ditest, kemudian ikut training untuk jadi Bartender, Najib mulai bekerja di sana.

Sejak itu kami kehilangan seorang teman kong­kow. Karena Najib bekerja malam hari hingga subuh. Siang hari ia tidur, seperti musang.

Ayahnya Ustadz Malik tak tahu putranya bekerja di tempat haram itu. Yang ia tahu, sesuai menurut apa yang dikatakan Najib ketika suatu kali ayahnya bertanya, Najib bekerja sebagai Satpam di sebuah pe­rusahaan. “Jangan lupa shalat,” pesan ayahnya.

Jelas Najib berbohong. Dan ia tahu betul ber­bohong itu dosa. Bekerja di bar itu dosa. Dan bahkan kini ia sudah tak shalat lagi. Lingkungannya tak me­mung­kinkan, dan di mana mau shalat, dan tak ada tem­­po, dan ia tak mau jadi ba­han tertawaan teman-te­mannya.

Sebenarnya, Najib me­ra­sa sangat terhimpit, tapi di­lakoninya terus. Sampai ka­pan?

Dan kami, dan semua orang di gang, merasa ber­ke­wa­jiban menyimpan rahasia ini kepada Ustadz Malik. Orang tak ingin menghancurkan pe­ra­sa­annya.

19

Sebaliknya, siapa sang­ka, jika Allah ber­kehen­dak mem­beri hida­yah ke­pa­da hamba­nya, Tony Han­do­ko yang agak ugal-ugal­­­an itu, anak pe­­­­­gawai pajak yang ge­dongan itu, bersi­ke­ras pa­da papa­nya mau masuk pe­san­­tren. Ketika hal itu di­sampaikan, bu­­­­­­­kan main ka­get­nya sang papa, ba­gai­kan disambar petir di siang bo­long. Kaget, heran, be­rang, bingung, tak alang ke­palang.

Teriak papanya: “Mau jadi apa kau?! Mau jadi san­tri miskin?!” Suaranya menggelegar sepanjang gang. Selanjutnya diberondongnya Tony dengan omel­an tak berkeputusan, bagaikan rentetan tem­bak­an senapan mesin sebagaimana yang kau lihat dalam film Rambo, atau kayak petasan gantung waktu sunatan. Papanya menyesalkan sangat keinginan Tony itu. Papanya sudah berangan-angan supaya Tony jadi akuntan dan akan mengirimnya ke Amerika. Papanya meng­ang­gap keputusan Tony itu benar-benar gila.

Setelah pernyataan pemberitahuan itu kepada papanya dan diberondong habis-habisan, Tony bung­kem, merunduk terus, tak membantah sepatah pun, sam­pai papanya reda dan terhenyak di kursi.

Beberapa hari kemudian, kami, Tony dan aku berangkat naik kereta api ke Jawa Timur, ke Pesantren Bangil. Tony memintaku. Ia memerlukan teman da­lam perjalanannya. Bahkan ia minta aku me­ne­mani­nya selama seminggu di pesantren. Untunglah hal itu diizinkan Pak Kiai, pimpinan pesantren itu.

20

Sehari setelah keberangkatan Tony, papanya jatuh sakit. Begitu Surat Kilat Khusus yang kami te­rima, pada hari ketiga, dari ibu Tony. Ia diminta ibu­nya pulang sebentar untuk menjenguk papanya. Tapi Tony tak mau. Dan sebagaimana dikatakannya dalam surat kepada ibunya, kepadaku ia berkata: “Nanti sebentar papa akan sembuh juga. Papa memang selalu begitu. Maunya perintahnya saja yang mesti diturut.”

Aku mencoba melunakkan hatinya, “Toh tidak apa­ pulang buat sebentar, bukan?”

“Tidak sekarang,” jawabnya pasti. “Sekarang saya lagi kesal sama papa. Coba, Ma, saya dibilang sudah sesat? Dituduh mendapat pengajian yang sesat? .... Dalam batin, saya bertanya: siapa yang sesat? Saya atau papa? Apa yang papa fikirkan hanya duit melulu ... seakan dengan itu dapat dibeli semuanya: gengsi, martabat, kesenangan ... tapi miskin rohani. Dunia, du­nia dan kesenangan melulu.… Apa dengan keka­ya­an itu dapat dibeli kebahagiaan akhirat? Papa sudah dipengaruhi oleh Dajjal yang bermata satu, ha­nya mencari kesenangan dunia…. Tidak! Saya tidak akan pulang! Saya sudah bosan dengan suasana rumah!”

Tony menarik nafas panjang, nampak kesal. Dan katanya: “Coba fikir, masak papa tega menuduh saya subversif. Ikut pengajian gelap, pengajian subversif, pengajian yang disusupi faham komunis. Jelas ini fit­nah! .... Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Tahu! Dan papa sampai hati akan mengadukan kelompok pe­nga­jian kami kepada yang berwajib, agar semua kami ditangkap, guru ngaji kami ditangkap! La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah.

Kini, kulihat air matanya menggenang, hampir menangis.

Lanjutnya: “Kalau tidaklah karena takut dosa, men­jadi anak durhaka, hampir saya tidak bisa me­ma­­afkan papa. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberi papa taufiq dan hidayah. Saya percaya masih tersimpan benih-benih iman dalam dada papa. Sekarang sedang tersapu oleh gemerlapnya keindahan dunia

21

Sebenarnya, yang suka “ekstrim” bukan Tony Handoko seorang. Ada lagi. Kau lihatlah si Aisah, teman Maryam (nanti kalau ada tempo aku cerita padamu), teman kami juga. Nah, Aisah yang satu ini, sekarang pakai jilbab (itu istilah yang ngepop sekarang, tak lain tak bukan, itu kata lain dari pada kerudung). Dan kesan pertama kita melihatnya, persis seperti kaum wanita pasidaran Iran, anak buah fanatik pengikut Imam Khomeini, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah atawa koran-koran. Be­lakangan ada lagi yang menyebutnya pakaian wanita Ikhwanul Muslimin Mesir, pimpinan Imam Hassan Al-Banna. Tapi, apa pun namanya, menurut Ustadz Malik, “Itulah pakaian Muslimah yang sebenarnya.”

Pakaian yang menutup aurat. Sesuai dengan apa yang termaktub dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab ayat 59: “Hai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, istri-istri orang mu'min. Hen­daklah mereka mengulurkan kain kerudung/jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang de­mi­ki­an itu supaya mereka lebih mudah dikenal, agar me­reka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengam­pun-Penyayang.” Dan dari Hadis Rasulullah Saw. dapat saya kutipkan sebuah Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.: suatu ketika Asma bin­ti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah sedang Asma memakai baju yang tipis (membayang tu­buh­nya), maka Rasulullah melengah seraya berkata: “Hai Asma, wanita yang te­lah sam­pai masa haid tidak bo­leh ter­lihat kecuali ini dan ini,” dan beliau me­nu­n­juk kepada mu­ka dan kedua tela­pak ta­ngannya.

Sebenarnya, masih ada be­­­­be­rapa ayat dan hadis, tapi Sau­dara-saudara dapat men­ca­rinya sendiri dalam Al-Qur­an, misalnya pada An Nur ayat 31, Al A’raaf ayat 26 dan beberapa Hadis yang diri­wa­yatkan oleh Muslim dan Ah­mad!

Pokoknya, sejak Aisah men­­­­jadi eskrim, maaf, eks­trim itu, di mana saja, kapan saja, ia selalu berjilbab! Anak-anak yang iseng, menjuluki­nya dengan “pa­kai­an ninja”. Tapi Aisah tak acuh saja.

Dan sejak itu, kayaknya Aisah tak punya lagi ba­rang sepotong pun baju model lain. Kayaknya se­mua pakaian rok, blus yang dulu, baik yang maxi, mi­di, apalagi mini, sudah dibakar ludes! Atau di­ha­nyut­kan ke Kali Malang (tak jauh dari gang kami).

“Apa pakaian-pakaian yang dulu itu sudah kau sedekahkan, barangkali, Aisah?” Suatu kali aku coba menduga kepadanya.

“Itu namanya, sama saja kita membagi dosa kepada yang lain,” jawabnya. “Menyuruh orang membuka aurat, ia berdosa dan aku pun berdosa. Dan dosaku dua kali lipat: dosa karena telah memberi yang salah, dan dosa yang dilakukan orang itu.”

“Kau ini aneh, Aisah,” kataku pula. “Dulu se­be­lum begini malah kau seorang modis, perancang busana.... Sekarang siapa yang mau menjahitkan pa­kai­an padamu kalau hanya jilbab melulu?”

“Lupakanlah itu,” katanya. “Itu waktu saya masih jahiliyah. Semoga Allah mengampunkan ketidak­ta­hu­anku. Dan siapa yang mau menjahitkan kepada saya? Terserahlah, siapa yang mau saja. Rezeki di tangan Allah.”

Mantap sekali ia, fikirku.

Aisah boleh bermantap-mantap. Tapi lihatlah betapa cobaan yang dihadapinya. Gara-gara pakaian jilbab itulah, Aisah mendapat kerepotan di se­ko­lahnya (sebuah SMA Negeri di bilangan Kebayoran Baru). Oleh kepala sekolah, ia dianggap melanggar pe­r­­aturan seragam sekolah, walau warnanya sudah pu­tih di atas dan abu-abu di bawah (sudah di­se­suai­kan Aisah). Namun ia tetap di­anggap me­langgar. Soal­­nya: jilbab yang kayak ninja itu, baju lengan pan­jang dan rok yang kom­prang kedodoran itu!

Kepala Sekolah sudah mem­­­beri peringatan be­be­rapa kali, lisan dan tulisan, dengan ancaman sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dari sekolah. Aku tak tahu bagaimana kesu­dah­an­nya. Yang kutahu Aisah te­tap tegar. Berkata man­tap ke­pada kami anak-anak gang.

“Salah apa saya jika saya meng­amalkan ajaran agama sa­ya?! Toh, hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Empat Lima kita! Baca tuh pasal 29 ayat 2, bahwa negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan setiap warga ne­ga­ra untuk memeluk suatu aga­ma atau ke­per­ca­ya­an dan un­tuk beribadah sebagaimana yang dia­jar­kan oleh agama mau­pun kepercayaan itu! Nah, mana yang lebih tinggi kedudukan hu­kumnya UUD 45 atau Peraturan Seragam Se­ko­lah?!”

“Jelas UUD 45, dong,” jawab kami spontan memberi semangat dan membenarkan Aisah. Dan bertepuk tangan serempak.

Aisah melanjutkan: “Itu tuh, kalau mau ditertibkan juga, tertibkanlah siswa-siswa yang suka berantem itu, yang terlibat narkotik itu, yang mabuk-mabukan itu, yang merokok itu, yang suka keluyuran di jalanan atau ke disko pada jam-jam pelajaran! Ke sana alamat penertiban itu! Bukan kepada hak asasi orang?! Orang yang baik-baik seperti kita-kita ini lagi, ini enggak ge-er, ya (senyum, aduh manisnya)....”

Lagi-lagi kami keplok, senang sekali. Tiba-tiba seseorang memberi komando: “Tepuk pra-mu-ka!” Plok plok plok... plok plok plok... plok plok plok plok plok plok plok. Semua bertepuk kegirangan bagaikan anak-anak pramuka.

Rupanya Aisah belum selesai, belum merasa puas, ka­tanya sambil setengah berbisik, mencorongkan ke­dua telapak tangannya ke moncong: “Jangan-jangan kepala sekolah itu bekas PKI, ‘kali. Kan hanya orang­-orang PKI yang sangat anti agama?”

“Ya, ‘kali,” celetuk kami, membenarkan.

Mengembangkan kedua tangannya, mengangkat bahu, Aisah mengeluh: “Boleh jadi semua kita telah menjadi orang-orang munafik terhadap agama yang kita anut. Tilawatul Quran kita rayakan secara besar-besaran dengan biaya jutaan, tak tanggung-tanggung! Tetapi sebaliknya, pengamalannya kita jegal. Kita curiga dengan berbagai prasangka. Apakah ini tidak munafik namanya? Atau mungkin ada penamaan lain?”

“Munafiiiik...!” teriak anak-anak serempak.

“PKIiiiiiiii...!” tambah kami lagi.

22

Di mana pun, dasar anak-anak, suka becanda, su­ka menggoda. Apabila Aisah lewat di depan ‘mar­kas’, tak pernah luput ia jadi godaan. Begitu ia lewat, anak-anak yang tadinya asyik-asyiknya menyanyi dang­dut atau pop, segera mengalihkan iramanya ke kasidahan:

“Indung-indung kepala lindung

Hujan di udik di sini mendung

Anak siapa pakai kerudung

Mata melirik kaki kesandung...”

Aisah terus berlalu dengan senyum-senyum diku­lum. Mungkin, dalam hati masing-masing kami, ber­ka­ta: “Alangkah manisnya anak ini...?”

23

Suatu kali sedang aku asyik mentes kaset yang akan kubeli di sebuah toko di Benhil, kulihat Aisah ber­jalan seorang diri pulang sekolah. Serombongan cowok SMA yang berpapasan dengannya menggoda Aisah dengan sikap agak kurang sopan, mengitarinya seakan hendak memangsa, persis kayak segerombolan anjing hendak berebut tulang.

“Waduh, alimnya.”

“Sorangan wae?”

“Mari, gue anterin, yuk?”

“Ntar lu digampar bokapnya!”

“Enggak apa asal gue dapat anaknya yang ca'em.”

Dan macam-macam lagi.

Namun Aisah diam saja. Jalan terus.

“Wah, kalian ini tak tahu aturan!” ujar yang lain belagak memarahi teman-temannya. “Ucapin salam dulu, dong.”

“O ya lupa, assalamu'alaikum, Neng?”

Dengan lembut Aisah menjawab, “Wa'alaikum salam.”

Anak-anak pada sorak kegirangan.

Kuatir mereka menggoda lebih jauh lagi, buru-bu­ru aku keluar, kupanggil Aisah dengan suara lan­tang untuk mengagetkan anak-anak itu. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Aku berhasil. Mereka menyingkir secara teratur. Sekilas kudengar.

“Ada cowoknya, Mek!”

Lalu kutarik Aisah ke toko kaset.

“Kau tidak diapa-apakan mereka?” tanyaku.

“Tidak.”

“Anak-anak berengsek!”

“Mereka cuma iseng.”

“Kurang ajar,” kataku, geram. “Tapi, ya ampun, kenapa anak-anak gituan kau kasih hati?”

“Kasih hati bagaimana?”

“Salam mereka kau jawab. Cuekin aja!”

“Dosa lho, salam tak dijawab. Bukankah salam itu doa, yang artinya selamat dan sejahteralah anda. Sepantasnya kita mendoakan mereka pula.”

“Ya, ampun...,” kataku tak habis fikir pada Aisah yang satu ini.

24

Lain Aisah, lain pula Maryam. Gadis kecil yang kemarin-kemarin ini masih ingusan, masih suka main congklak dengan teman-teman sebayanya, main eng­klek, main loncat karet, tiba-tiba seperti di­sung­lap, dari kuncup mekar menjadi bunga yang in­dah. Gadis kecil itu tumbuh jadi remaja yang amat can­tik dan mempesona. Dan Maryam sadar akan perubahan dirinya.

Penampilan yang pertama mengejutkan banyak orang adalah ketika suatu kali ia ikut acara perkenalan penyanyi remaja di TV. Sejak itu ia dikenal secara lu­­­as. Semua orang kagum padanya. Bukan pada nya­nyian, melainkan kecantikannya yang membius itu.

Maka sejak itu, kami tak merasa heran, kalau ber­ganti-ganti saja pemuda-pemuda luar datang ber­kun­jung ke rumahnya. Kemudian pasangan anak muda itu pergi ke luar rumah untuk latihan menyanyi. Di lain waktu, ada lagi yang mengajaknya pergi menon­ton, ke restoran, dan macam-macam acara lain. Dan, selalu dengan muka baru: penyanyi tenar ibukota, pe­main film yang sedang in, anak teater yang lagi ngepop, pemain tenis yang lagi ngetop.... Dan yang pa­ling akhir anak orang kaya bermobil Baby Benz. Pokoknya selalu dengan cowok baru!

Dan setiap kali Maryam dan padangannya lewat di depan ‘markas’, maka terdengar bisik-bisik yang dikeraskan:

“Baru lagi, ni yee?!”

25

Maryam memang cantik. Yang tercantik di gang kami. Bahkan yang tercantik di ibukota republik ini, demikian menurut Hamzah.

Kukira, Hamzah menaruh hati pada Maryam. Hamzah belum pernah mengatakan secara terus terang.

“Tapi apalah arti kecantikan jika tidak disertai dengan ‘kematangan dan kedalaman’,” kata Hamzah pula, berfilsafat. Kali ini tampak serius dengan muka murung.

Dari bacaan berat mana pula Hamzah mem­peroleh ‘kematangan dan kedalaman’ itu, aku tak ta­hu.

26

Suatu hari, berani-berani takut, kutanyakan pa­da Hamzah apakah ia mencintai Maryam.

“Tidak!” jawabnya tegas.

Aku terperangah.

27

Tapi akhimya aku tahu juga, mungkin anak-anak lain tidak, ketika Maryam menyebarkan undangan perkawinannya dengan anak penguasa Real Estate, yang ber-Baby Benz itu, Hamzah mendadak pindah ke Rawamangun. Indekos di sebuah kamar yang se­der­hana. Memutuskan hidup jadi pengarang dan ber­henti kuliah. Sekarang ia bekerja di sebuah majalah.

Dalam puisi-puisi dan cerpen-cerpennya dapat kutangkap kesepian hati yang dibawanya ke mana pun ia pergi, seperti ada sesuatu yang terlepas dan hilang, yang tak mungkin dapat diraih kembali.

28

Dari bisik-bisik anak-anak cewek dapat ku­tang­kap bahwa sebenarnya Maryam pun mencintai Hamzah. Namun perasaan ini disimpannya sendiri. Ia tak hendak dan berani menyatakan kepada ayah ibunya. Maryam seorang anak yang baik, seorang anak yang patuh. Dan terlebih dari semua itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Untuk itu ia siap berkorban. Semoga hal itu menjadi tanda bakti­nya buat mereka yang telah bersusah payah, mem­besar­kannya dalam kemiskinan yang berkepanjangan.

29

Akhir-akhir ini, aku tak merasa betah lagi duduk lama-lama di ‘markas’ kami. Dalam senda gurau dan nyanyian diam-diam menyelinap kesepian ke dalam hatiku. Di antara kawan tak kulihat lagi Hamzah, yang pergi membawa luka hatinya dalam kesepian di kamar indekosnya jauh di Rawamangun sana. Mungkin di malam-malam begini ia sedang mengetik puisi-puisi atau cerpen-cerpen, tempat di mana ia melarikan kepedihannya.

Tony Handoko mungkin sedang terbenam dalam kitab kuning bertuliskan Arab gundul. Atau mungkin ia sedang larut dalam zikir yang dalam. Nun jauh di desa Bangil, terpencil, jauh dari keramaian kota.

Najib mungkin sedang mencampur minuman ha­ram satu dengan yang lainnya, sambil mengenang ayah­nya sedang mengaji di rumah. Batinnya ter­te­kan. Namun ia tak bisa berbuat lain.

Se­dang mengapakah Martin sekarang? Lakon apa­kah yang sedang diperankannya sekarang? Hamlet to­koh yang selalu dibuai bimbang? Lama ia tak pu­lang. Aku tak tahu sedang mentas di kota mana ia se­karang.

Masing-masing teman pergi membawa nasibnya sendiri-sendiri.

30

Suatu hari ayahku berkata dengan sedikit keras kepadaku: “Syamsu, apakah kau tak merasa malu, nongkrong terus dengan bocah-bocah itu? Teman-te­man sebayamu sudah pada bekerja! Contohlah mereka itu! Lagi pula, ayah sudah tak sanggup lagi mem­biayai sekolahmu. Adik-adikmu masih banyak yang perlu ayah perhatikan.”

31

Malam hari ketika aku pulang dari mencari pekerjaan yang belum juga kudapatkan, aku selalu lewat di depan ‘markas’. Ramainya masih seperti bia­sa. Tapi sudah tentu tak kulihat lagi di sana Najib, To­ny Handoko, Martin dan Hamzah. Tiba-tiba aku merasa teramat sepi, tertekan sedikit oleh perasaan rindu.***

Selasa, 02 Desember 2008

BBM me-Langka

Persoalan yang sangat mendasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak, apalagi kalo bukan BBM, barang cair yang mudah terbakar ini benar- benar membakar rakyat indonesia sekarang ini, bayangin aja pada saat naiknya harga BBM ini, udah banyak yang protas - protes demo, seakan - akan sebuah sumbu dari suatu bola BOMM yang disulut oleh pemerintah.

Bayangin aja, dijaman sekarang ini, siapa sih yang gak punya motor........hampir setiap rumah pasti punya kendaraan massal ini, dan siapa sih yang nggak butuh transportasi umum, ini sudah mejadi suatu kebutuhan bagi manusia indonesia, dan semua itu memerlukan BBM, sebuah barang yang vital ( bukan alat vital, kalo itu laen lagi ), Monopoli dari sebuah perusahaan BUMN yang tak mau disetir oleh pemerintah................

Dan setelah mengalami kenaikan, pada saat ini BBM pun mengalami penurunan harga, walaupun tidak signifikan alias cuma 500 perak per lliter, namun ini pun membuahkan suatu persoalan lain lagi di sebagian daerah........., seperti di Mojokerto, Mojosari tempatku ini, dari kenaikan kemaren per 1 Desember 2008, sampe sekarang, bensin sangat langka ditemui, semua pengusaha SPBU berlomba - lomba menutup pangkalan SPBUnya, pasalnya mereka tidak mau merugi karena turunnya harga BBM, katanya ..............

Lalu lagi - lagi bagaimana nasib kami rakyat umum ini, apakah kami harus memakai air sebagai pengganti BBM untuk bisa kerja, sekolah, dan kesibukan rutinitas kami sehari - hari, lalu kenapa para pengusaha SPBU ini tidak mau merugi wqalaupun hanya sedikit demi rasa manusiawi, apakah kenaikan harga BBM tahun lalu, bulan lalu, minggu lalu dan lalu - lalu yang dulu itu masih belum cukup mendapat untung.......

Hidup kita memang sangat tergantung pada benda cair ini, suatu produksi hasil alam yang menguntungkan kehidupan, namun juga menyengsarakan .........

sungguh suatu negeri gila, di dunia yang aneh.

Minggu, 30 November 2008

Perubahan Blog

Akhirnya ........................ selesai juga perombakan blog ini, sekarang menjadi bertema milk coffee, karena tema blog yang dahulu yang berjudul " marsvenus-merah, sebuah perjalanan " sudah tak mampu lagi menggambarkan style-ku, karena terlihat kurang dewasa............tapi bukan sok tua lho !!, namun kelihatan konyol aja dengan gambar seorang yakuza dengan membawa samurai sebagai backgroundnya.............hehehehe...........

Walaupun untuk merombak total memerlukan waktu yang relatif lumayan lama, maklum masih hijau.........kayak daun hehehe, bayangin aja ...........hanya untuk cari desain nya aja aku dan dibantu oleh kang Yanto........ harus mengutak - atik kompi dari jam 16. 30 sampai dengan 22.... lupa deh, pokoknya sampai jam 10an malem, mungkin lebih........... huh, melelahkan banget deh.......

Sampai keringetan.......ngantuk.......abis rokok 1 pak, 2 botol minuman ringan ( kalo keras tar mabok lagi ), dan persediaan semangat yang ada..............hehehe biar lebih patriotik.

Maka dengan ini ........... pada malam ini dengan rasa bangga dan dengan suasana yang ceria, penuh suka cita..........pokoknya senang deh...........postingan perdana ini aku telurkan ( kayak burung, suka bertelur ), dan tak lupa terima kasih kepada kang YANTO, serta lagu lama Slank yang menemani kefrustasian, keputus asaan ku..........., ah udahlah........pokoknya " INILAH BLOG-KU YANG BARUUUUUUUUU "........

Jumat, 08 Agustus 2008

lagi demen main game

keliatannya sekarang sibuk ngegame nih, sejak ditempat ku kerja diberi game online........., biasanya seh aku main game RF ( rising force ) Online, game asal korea yang saik bangggeeeeet, sampe lupa waktu deh kalo main game ini................nggak tau, kok bisa begitu ya ???.
pertama ngeliat emang dari tampilan plus graphik-nya, memukau banget, kayak nyata, dan seperti betulan.............ini yang jadi daya tarik.............
yang kumainkan seh bangsa Cora, server Lunar, Chart-ku tak kasih nama V1pper ( nama ular, hiiiii ), dan sekarang saat ku posting ini, chartku masih menginjak lepel 40, job BK ( black knight, bo ).............
ntar tak lanjutin lagi ceritanya.............soale mau makan neh.............laper, main game mulu sih hahaha.....

Jumat, 28 Maret 2008

SamuraiX, reinkarnasi sang "Battosai"

Sekarang aku lagi getol-getolnya suka ama yang namanya film maupun komik yang berbau samurai, mungkin kena influenz film The last Samurai-nya Tom Cruise ya??. nggak juga seh, soalnya film yang sempet tak tonton di salah satu stasiun televisi ( lupa nama stasiunnya.....he....he...) kmaren malam itu memang plotnya hero banget tapi endingnya sedih banget, kan semua tokoh utamanya mati ( judulnya aja last samurai......hi...hi ), kecuali si tom cruise itu, karena dengan matinya sang "samurai terakhir", cerita hidupnya justru baru dimulai yang dengan si "cewek jepang yang cantik itu" ketahuan kalo naksir nih he....he..., tapi lupakan dulu soal itu, yang mau aku tulis disini adalah cerita sang ksatria jaman meiji sang Battosai kenshin himura, ini mungkin karena aku sangat suka dengan jalan ceritanya serta tentu saja dengan gambarnya, walaupun aku nggak begitu suka dengan film animasi, namun film ini dan komiknya sendiri terlihat sangat realistis banget, sueeeer deh, komiknya kubaca sampai kusem banget......

Cerita berawal dari masa meiji, akhir masa thokugawa, dalam masa revolusi jepang itu lahirlah nama pejuang - pejuang restorasi meiji, dan salah satu yang terkenal adalah Battosai sang pembantai, pembunuh bayaran dan samurai yang paling ditakuti pada saat itu, sampai penduduk pada saat itu kalo mendengar namanya pasti langsung lari terkencing - kencing ketakutan, namun sang battosai Himura ini tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, alias, dia selalu memilih korbannya, dan misteriusnya lagi walaupun seluruh jepang mengetahui namanya tapi tak ada yang tau bagaimana wajahnya serta sosoknya, padahal dia adalah seorang remaja, masa aktifnya sebagai battosai adalah antara umur ( kalo nggak salah sih ) 15-19 tahun, namun seiring bergulirnya waktu dan berakhirnya masa revolusi meiji, dia menghilang..............

rupanya dia memutuskan untuk berhenti menjadi pembunuh berdarah dingin, dan memilih mengembara sebagai " kenshin Himura" nama pemberian gurunya yang berarti murid yang bodoh, selama masa pengembaraannya inilah cerita sang jago pedang muda ini dimulai, petualangannya menegakkan kembali keadilan dan menolong masyarakat pada saat itu dengan hanya ditemani oleh " Sakabato" samurai dengan mata pedang terbaliknya, agar dia tidak bisa lagi membunuh korbannya dan hanya bisa melumpuhkan lawannya saja.

Sebetulnya cerita ini adalah cerita Roman, namun dilatar belakangi oleh sejarah pada masa itu selain itu cerita ini memberikan pelajaran walau bagaimanapun terperosoknya manusia itu, namun dia bisa bangkit dan melupakan masa kelamnya sebagai pembunuh asalkan sang manusianya sendiri punya kemauan untuk itu, dan sang samurai merasa sebagai pengembara adalah jalan terbaik walaupun para samurai seperjuangannya sudah menduduki posisi penting pada masa pemerintahan meiji.

Mungkin disinilah sang penulis Nobuhiro watsuki memberi judul Samurai X, ya karena sang tokoh adalah mantan atau eks atau X, jadi kalau disimpulkan ini adalah cerita petualangan mantan samurai karena dalam ceritanya juga diceritakan bahwa pada masa itu para samurai dilarang membawa pedang dengan terang - terangan karena melanggar undang - undang pada saat itu, sama dengan film The Last samurai, tapi pada saat itu tom cruise kok nggak ketemu ya sama kenshin himura, coba kalo ketemuan pasti deh pada saat perang melawan pasukan tentara jepang para samurainya nggak akan kalah, lah dikepret sama jurus Hitenmitsurugi langsung kocar - kacir deh..........he.........he........, tapi ini sih udah diluar pakem ya?

Selasa, 29 Januari 2008

178 kata cinta " AKU CINTA PADAMU "


Ternyata di seluruh dunia itu sama aja ya kalo ada orang yang sedang dimabuk cinta, mereka selalu mengucapkan aku "aku cinta padamu", mmuuuah........mmmmuuuuuaaah........, tapi walaupun satu maksud tapi ternyata bahasa yang membedakan, nih tak kasih bocoran gimana ngunggkapin cinta dengan bahasa lain, tapi kalo bahasa alam gaib apa ya???...............

Afrikaans - Ek is lief vir jou

Albanian - te dua

Alentejano (Portugal) - Gosto De Ti, Porra!

Alsacien (Elsass) - Ich hoan dich gear

Amharic (Aethio.) - Afekrishalehou

Arabic - Ana Ahebak / Ana Bahibak

Armenian - yes kez shat em siroom

Assamese - Moi tomak bhal pau

Assyr - Az tha hijthmekem

Bambara - M’bi fe

Bangla - Ami tomakay bala basi

Bangladeschi - Ami tomake walobashi

Basque - Nere maitea

Batak - Holong rohangku di ho

Bavarian - tuI mog di

Belarusian - Ya tabe kahayu

Bengali - Ami tomake bhalobashi

Berber - Lakh tirikh

Bicol - Namumutan ta ka

Bisaya - Nahigugma ako kanimo

Bolivian Quechua - Qanta munani

Bosnian - Ja te volim (formally) or volim-te Turkish seni seviyorum

Bulgarian - As te obicham

Bulgarian - Obicham te

Burmese - chit pa de

Cambodian (to the female) - bon saleng oun

Cambodian (to the male) - oun saleng bon

Canadian French - Je t’adore (”I love you”)

Canadian French - Je t’aime (”I like you”)

Catalan - T’estim (mallorcan)

Cebuano - Gihigugma ko ikaw

Chamoru (or Chamorro) - Hu guaiya hao

Cherokee - Tsi ge yu i
Cheyenne
- Ne mohotatse

Chichewa - Ndimakukonda

Chickasaw - Chiholloli (first ‘i’ nasalized)

Chinese - Ngo oi ney a (Cantonese)

Chinese - Wuo ai nee (Mandarin)

Corsican - Ti tengu cara (to female)

Corsican - Ti tengu caru (to male)

Creol - Mi aime jou

Croatian - Volim te (used in common speech)

Czech - Miluji Te

Danish - Jeg elsker dig

Dutch - Ik hou van jou

Dutch - Jeg elsker dig

Ecuador Quechua - Canda munani

English - I love thee (used only in Christian context)

English - I love you

Eskimo - Nagligivaget

Esperanto - Mi amas vim

Estonian - Ma armastan sind / Mina armastan sind (formal)

Ethiopia - afekereshe alhu

Faroese - Eg elski teg

Farsi - Tora dost daram

Filipino - Mahal ka ta

Finnish (Minä) rakastan sinua

Flemish (Ghent) - ‘k’ou van ui

French (formal) - Je vous aime

Friesian - Ik hald fan dei

Gaelic - Tá mé i ngrá leat

Galician - Querote (or) Amote

Georgian - Miquar shen

German - Ich liebe Dich

Ghanaian - Me dor wo

Greek - agapo se

Greek - S’agapo

Greenlandic - Asavakit

Gronings - Ik hol van die

Gujarati - oo tane prem karu chu

Hausa - Ina sonki

Hawaiian - Aloha au ia`oe

Hebrew - Ani ohevet ota

Hiligaynon - Guina higugma ko ikaw

Hindi - Main tumsey pyaar karta hoon / Maine Pyar Kiya

Hmong - Kuv hlub koj

Hokkien - Wa ai lu

Hopi - Nu’ umi unangwa’ta

Hungarian - Szeretlek te’ged

Icelandic - Eg elska thig

Ilocano - Ay ayating ka

Indi - Mai Tujhe Pyaar Kartha Ho

Indonesian - Saya cinta padamu

Inuit - Negligevapse

Iranian - Mahn doostaht doh-rahm

Irish - taim i’ ngra leat

Italian - Ti amo/Ti voglio bene

Japanese - Anata wa, dai suki desu

Javanese (formal) - Kulo tresno marang panjenengan

Javanese (informal) - aku terno kowe

Kannada - Naanu ninna preetisuttene

Kapampangan - Kaluguran daka

Kenya (Kalenjin) - Achamin

Kenya (Kiswahili) - Ninakupenda

Kikongo - Mono ke zola nge (mono ke’ zola nge’)

Kiswahili - Nakupenda

Konkani - Tu magel moga cho

Korean - SA LANG HAE / Na No Sa Lan Hei

Kurdish - Khoshtm Auyt

Laos - Chanrackkun

Latin - Te amo

Latvian - Es mîlu Tevi

Lebanese - Bahibak

Lingala - Nalingi yo

Lithuanian - As Myliu Tave

Lojban - mi do prami

Luo - Aheri

Luxembourgeois - Ech hun dech gäer

Macedonian - Jas Te Sakam

Madrid - lingo Me molas, tronca

Maiese - Wa wa

Malay - Saya cintakan kamu

Maltese - Inhobbok hafna

Marathi - Me tula prem karto

Mohawk - Kanbhik

Moroccan - Ana moajaba bik

Nahuatl - Ni mits neki

Navaho - Ayor anosh’ni

Ndebele - Niyakutanda

Nigeria (Hausa) - Ina sonki

Nigeria (Yoruba langauge) - Mo fe ran re

Norwegian - Jeg elsker deg

Osetian - Aez dae warzyn

Pakistan (Urdu) - May tum say pyar karta hun

Pandacan - Syota na kita!!

Pangasinan - Inaru Taka

Papiamento - Mi ta stimabo

Persian - Tora Doost Darem

Pig Latin - I-yea Ove-lea Ou-yea

Polish - Kocham Cie

Portuguese (Brazilian) - Eu te amo

Punjabi - me tumse pyar ker ta hu’

Quenya - Tye-mela’ne

Romanian - Te ador (stronger)

Romanian - Te iubesc

Russian - Ya tyebya lyublyu

Samoan - Ou te alofa outou

Sanskrit - tvayi snihyaami

Scottish Gaelic - Tha gra\dh agam ort

Serbo-Croatian - Volim te

Setswana - Ke a go rata

Shona - Ndinokuda

Sign language - Spread hand out so no fingers are touching. Bring in middle & ring fingers and touch then to the palm of your hand.

Sindhi - Maa tokhe pyar kendo ahyan

Singhalese - Mama oyaata aadareyi

Slovenian - ljubim te

South Sotho - Ke o Rata

Spanish - Te quiero / te amo / yo amor

Sri Lanka - mame adhare

Surinam - Mi lobi joe

Swahili - Naku penda

Swedish - Jag älskar dig

Swiss-German - Ch-ha di gärn

Tagalong - Mahal Kita / Iniibig kita

Tahitian - Ua here au ia oe

Taiwanese - Wa ga ei li

Tamil - Naan Unnai Khadalikkeren

Telugu - Nenu Ninnu Premisthunnanu

Thailand - Khao Raak Thoe / chun raak ter

Tunisian - Ha eh bak

Turkish - Seni Seviyorum

Ukrainian - Yalleh blutebeh / ya tebe kohayu

Urdu - Mea tum se pyaar karta hu (to a girl)

Urdu - Mea tum se pyar karti hu (to a boy)

Vietnamese (Females) - Em yeu Anh

Vietnamese (Males) - Anh yeu Em

Vlaams - Ik hue van ye

Vulcan - Wani ra yana ro aisha

Welsh - Rwy’n dy garu di

Wolof - Da ma la nope

Yiddish - Ich han dich lib

Yoruba - Mo ni fe

Yucatec Maya - ‘in k’aatech (the love of lovers)

Yugoslavian - Ya te volim

Zambia (Chibemba) - Nali ku temwa

Zazi - Ezhele hezdege (sp?)

Zimbabwe - Ndinokuda

Zulu - Mina funani wena